KONSTRUKTIVISME


PENDAHULUAN
Pada saat perang dingin berakhir dunia bertanya-tanya,teori realis yang pada saat itu menjadi teori yang banyak digunakan oleh banyak pelaku politik dan menjadi patokan,secara tidak langsung gugur.
Perang dingin berakhir begitu saja dengan runtuhnya Uni Soviet tanpa adanya serangan dari pihak lawannya (Amerika serikat ). Teori realis yang meyatakan bahwa perang antara dua kubu tersebut hanya akan berhenti pada saat salah satu dari kubu tersebut hancur karena penyerangan dari salah satu kubu lainnya tidak dapat dihentikan. Bahkan walaupun sampai saat ini pecahan dari Uni Soviet (Rusia) dan USA merasa masih menjadi musuh tetapi perang tidak pernah tejadi lagi. Walaupun kritik diantara dua kubu tersebut tidak pernah berhenti sampai saat ini. Para penganut paham realis pun masih belum bisa menjelaskan hal tersebut.
Dalam kebuntuan tersebut munculah konstruktivisme yang mencoba menjelaskan bagaimana hal tersebut bisa terjadi. Dan yang menjadi pembeda antara kontruktivisme dan paham lainnya adalah konstruktivisme menyimpulkan bahwa masalah tersebut bisa terjadi karna pada saat itu dunia mulai mengenal adanya norma dan nilai.
Asumsi Yang Mendasari Kelahiran Konstruktivisme

Konstruktivisme lahir dari sebuah kritik secara terbuka terhadap pendekatan Neorealisme dan Neoliberalisme. Manusia adalah mahluk individual yang dikonstruksikan melalui realitas sosial. Konstruksi atas manusia akan melahirkan paham intersubyektivitas. Hanya dalam proses interaksi sosial, manusia akan saling memahaminya. Dalam melihat hubungan antar sesama individu, nilai-nilai relasi tersebut bukanlah diberikan atau disodorkan oleh salah satu pihak, melainkan kesepakatan untuk berinteraksi itu perlu diciptakan di atas kesepakatan antar kedua belah pihak. Dalam proses ini, faktor identitas individu sangat penting dalam menjelaskan kepentingannya. Interaksi sosial antar individu akan menciptakan lingkungan atau realitas sosial yang diinginkan. Dengan kata lain, sesungguhnya realitas sosial merupakan hasil konstruksi atau bentukan dari proses interaksi tersebut. Hakekat manusia menurut konsepsi konstruktivisme lebih bersifat bebas dan terhormat karena dapat menolak atau menerima sistem internasional, membentuk kembali model relasi yang saling menguntungkan, atau yang diinginkan berdasarkan peraturan, strukturasi dan verstehen dalam speech acts.


Konstruktivisme Oleh Para Pemikir

Alexsander Wendt
Berbeda dengan realisme, yang menjelaskan realitas sosial selalu bersifat obyektif, menurut Wendt, eksistensi realitas konstruktivisme selalu bersifat subyektif tidak hanya pada konteks  materi melainkan juga dunia sosial. Menurut Wendt, orang berinteraksi dalam sistem hubungan internasional idealnya berdasarkan pada keyakinan terhadap nilai teori state-centric structural. Intinya, hubungan internasional dapat terjadi jika sebelumnya telah dikondisikan konstruksi secara sosial dengan mengabaikan dan menafikan fakta-fakta transhistoris seperti yang selalu dianut oleh paham realisme dan neorealisme selama ini. Sistem internasional dapat saja dibangun dalam bentuk yang anarkis dan mementingkan diri sendiri, namun konstruktivisme sangat menolak gagasan (neo)realisme jika penyelamatan diri sendiri (selp-help) adalah satu-satunya cara yang harus ditempuh dalam mengakhiri konflik politik internasional.

Penolakan Wendt atas model self-help tersebut disebabkan oleh, dengan meminjam teori interaksi simbolik, sebuah gagasan bagaimana sebenarnya “self-help” dan “politik kekuasaan”  secara sosial dikonstruksi dalam sebuah kondisi anarki. Klaim ini didasarkan atas dua prinsip konstruktivisme dengan menggunakan teori interaksionisme simbolik. Pertama, orang-orang bertindak berdasarkan pada dasar makna atau pemahaman dimana obyek dan aktor-aktor lainnya adalah untuk kepentingan mereka. Kedua, makna tersebut tidak melekat dalam dunia secara obyektif melainkan terbangun dan dipahami dalam proses interaksi semata. Dalam konteks relasi muncul klaim bahwa konsepsi keamanan di dalam situasi anarki tidak mengharuskan suatu negara lebih mementingkan dirinya sendiri (to be self-interested). Menurut Wendt, perilaku dipengaruhi oleh intersubyektifitas daripada struktur materi. Hal tersebut berdasarkan pada kolektivitas makna yang melalui para aktor yang memperoleh identitas yang relatif stabil, pemahaman atas peranan khusus aktor dan harapan tentang diri. Identitas aktor menyediakan dasar-dasar kepentingannya yang kemudian didefinisikan dalam proses situasi (anarki) yang menjelaskannya. identitas seorang aktor tidak hanya dibangun dan ditegakkan dalam interaksi sosial dengan yang lainnya semata. Identitas tersebut secara sosial menentukan jenis lingkungan anarki atau keamanan yang manakah yang akan berlaku. Seharusnya menurut Wendt, perlu ada penekanan pada format identitas yang kolektif, dimana identitas tersebut secara kolektif tergantung pada bagaimana kepentingan itu didefinisikan. Berdasarkan atas masalah apa dan sejauh mana identitas sosial melibatkan sebuah identifikasi dengan kondisi akhir identitas lainnya. Penjleasan ini merupakan alasan utama mengapa dalam kondisi anarki tidak harus diakhiri dengan self-help dalam menyudahi konflik internasional.
Identitas kolektif menekankan tujuan positif dengan menjadikan yang lainnya juga sedemikian rupa sehingga mereka juga secara kognitif merupakan bagian dari diri tersebut dan kesejahteraan merupakan perhatiannya. Para aktor yang memiliki identitas kolektif menggambarkan kepentingan mereka  atas sebuah level agregasi yang lebih tinggi yang berdasarkan pada perasaan-perasaan atas solidaritas, komunitas dan loyalitas. Poin-poin tersebut tidak mengartikan bahwa identitas kepentingan sendiri (self-interested) akan ditempatkan kembali dalam satu kolektivitas melainkan kerjasama mungkin mengubah identitas aktor daripada struktur yang dihasilkan. Maka dalam pemahaman atas identitas, Wendt mengharuskan kita memfokuskan atas hubungan antara “apa yang dilakukan oleh para aktor” dan “siapakah mereka”. Identitas kepentingan pribadi terletak pada jantung sistem “self-help” dan perubahan identitas.

Ruang Lingkup Konstruktivisme Wendt
Konstruktivisme merupakan teori struktural sistem internasional yang klaim-klaim intinya sebagai berikut : (1) negara merupakan unit analisis prinsipil bagi teori politik internasional; (2) struktur utama dalam sistem negara lebih bersifat intersubyektif, daripada bersifat material; (3) identitas dan kepentingan negara lebih membangun struktur-struktur sosial tersebut, dari pada diserahkan secara eksogen pada sistem oleh sifat dasar manusia atau politik domestik.

Konsepsi Struktur Sosial
Konsepsi konstruktivis Wendt tentang struktur sosial : Struktur sosial memiliki tiga elemen : (1) pengetahuan bersama, (2) sumber daya material, dan (3) praktek. Struktur sosial dijelaskan dalam beberapa hal, oleh pemahaman, harapan atau pengetahuan bersama. Hal ini menciptakan aktor-aktor dalam suatu situasi dan sifat hubungan mereka, apakah kooperatif atau konfliktual, Dilema keamanan, sebagai contoh, adalah struktur sosial yang terdiri dari pemahaman intersubyektif di mana negara-negara sangat curiga dalam membuat asumsi-asumsi keadaan yang buruk tentang maksud masing-masing pihak, dan sebagai akibatnya menegaskan kepentingan mereka dalam hal menolong diri sendiri. Komunitas keamanan merupakan suatu struktur sosial yang berbeda, yang terdiri dari pengetahuan bersama di mana negara percaya satu sama lain untuk menyelesaikan perselisihan tanpa perang. Ketergantungan struktur sosial pada pemikiran-pemikiran ini adalah hal di mana konstruktivisme memiliki pandangan idealis (atau ‘orang-pemikir’) struktur.

Struktur Sosial
     Tidak ada realitas sosial yang bersifat obyektif.
     Dunia Sosial termasuk hubungan internasional, merupakan suatu konstruksi manusia.
     Dunia sosial bukanlah sesuatu yang  given; dunia sosial  bukan sesuatu yang berasal dari luar, melainkan  wilayah intersubyektif, dunia sosial sangat berarti bagi masyarakat yang membuatnya dan hidup di dalamnya, dan yang memahaminya.
     Dunia sosial dibuat atau dibentuk oleh masyarakat pada waktu dan tempat tertentu.


Tiga Perbedaan Perspektif dalam HI
Wendt menguraikan bahwa dalam identitas dan kepentingan aktor, kaum konstruktivis memiliki ciri khas yang berbeda dengan kaum rasionalisme dalam hal penggunaan perspektif dalam konteks Metodologi, ontologi dan empirisme.

Perbedaan
Konstruktivisme
Rasionalisme
Metodologi
-    Mempertanyakan secara kritis dari mana datangnya identitas dan kepentingan tersebut
-    Identitas dan kepentingan bukan realitas melainkan bentukan struktur dan teori.
-    Menekankan pentingnya kekuatan Ide
-    Menjadikan kekuatan ide sangat berperan penting dalam kehidupan sosial dalam menentukan pilihan di antara perimbangan keberagaman sosial.
-    Institusi merupakan struktur sosial yang berfungsi untuk “sharing gagasan”
-    Mempertanyakan pengaruh lingkungan terhadap derajat perilaku aktor
-    Memperjuangkan identitas dan kepentinganya jika ada peluang
-    Kental dengan pendekatan Rational Choice dalam perilaku ekonomi borjuasi
-    Menekankan  pentingnya  kekuatan materi
-    Neorealist menyebut kepentingan negara berawal dari struktur materi yang anarkis.
-    Kekuatan ide direduksi untuk mengintervensi variabel antara kekuatan  materi dan hasil
-    Mengandalkan kekuatan materi dan kepentingan sendiri
Ontologi
-    Struktur dan intersubyektivitas
-    Tindakan memproduksi dan mereproduksi konsepsi identitas dalam ruang sosial dan waktu tertentu
-    Negara mentransformasikan kultur HI dalam konteks sistem keamanan kolektif (a collective security system)
-    Individual-centrism
-    Tindakan memproduksi dan mereproduksi konsepsi identitas individu semata.
-    Negara mentransformasikan kultur HI dalam konteks kekuatan yang berimbang (a balance of power)
Empirisme
-    Identitas dan kepentingan negara dikonstruksikan oleh sistem struktur
-    Kepentingan dan identitas negara selalu dikonstruksikan dalam sistem HI
-
-    Identitas dan kepentingan negara dikonstruksikan oleh kekuatan domestik.
-    Asumsi yang konstan atas gagasan empirisme dan alasan yang independen dalam sistem internasional
-

Konstruktivisme Onuf

Substansi pemikirannya termaktub dalam dua masalah besar. Yakni, dimana sebenarnya antara Hubungan Internasional dan Hukum Internasional diposisikan. Teori konstruktivisme memfokuskan perhatiannya pada sejuah mana eksplorasi aturan main. Onuf menegaskan prinsipnya dalam “World of Our Making” sebagai kunci dalam memformulasikan teori konstruktivisme dalam HI. Konstruktivisme menurut Onuf menjawab semua wilayah atas penyelidikan dan potensi membawa serta masalah-masalah yang semula nampaknya tidak berkaitan. Dimulai  dari keyakinan bahwa manusia adalah bentuk-bentuk sosial. Hubungan sosial membuat kita disebut manusia, membentuk kita kedalam kebaikan manusiawi. Dunia merupakan hasil konstruksi para aktor. Dengan kata lain, dunia sosial sangat beragam karena dibentuk oleh aktor dan struktur yang berbeda-beda pula.
Di saat yang sama, perbuatan dan komunikasi para aktor akan melahirkan atau membentuk sebuah dunia sosial. Idealnya, konstruktivisme didasarkan pada penggunaan bahwa masyarakat dan individu membuat satu sama lainnya dalam dua proses yang berlangsung terus menerus. Perbuatan yang yang dapat mengkonstruksikan realitas jika memiliki implikasi makna. Makna dalam hubungan sosial antar manusia tergantung pada keberadaan aturan. Konstruktivisme-nya Onuf menyatakan begitu pentingnya “aturan-aturan” untuk “realitas sosial” dan konsekwensinya terhadap teori sosial. Maka dalam beberapa analisa kehidupan sosial memerlukan peraturan, dimana peraturan tersebut adalah pernyataan yang menyatakan terhadap manusia apa yang seharusnya mereka lakukan. Peraturan menyediakan petunjuk bagi perilaku manusia dan dengan demikian menawarkan kemungkinan makna atau bahkan menciptakan kemungkinan agensi. Aktor sebagaimana halnya konstruksi sosial seperti negara dan institusi lainnya menjadi pelaku dalam masyarakat hanyalah melalui peraturan. Peraturan memberikan pelaku dengan pilihan-pilihannya yang akan menyertainya. Pelaku memiliki tujuan-tujuan dalam pikirannya dan melakukan yang terbaik dan dapat meningkatkan tujuan-tujuan mereka dengan makna bahwa alam dan manusia dapat memenuhi keinginan tersebut. Pelaku tidak hanya bertindak sesuai dengan konteks institusi dalam pola peraturan praktek tetapi juga mereka bertindak di atas konteks. Tindakan sering memiliki konsekwensi yang tidak diharapkan. Dengan demikian, peraturan, institusi dan konsekswensi diharapkan membentuk pola yang seimbang yang disebut struktur.
Dalam melihat peran tindakan bahasa  (speech acts), Onuf mengklasifikasikan dalam tiga kategori bentuk asertif, direktif dan komisif yang tergantung atas bagaimana pembicara bermaksud mendapatkan pengaruh atas dunia. Berhasilnya tindakan bahasa tergantung pada tanggapan balik pihak yang ditujukannya. Komunikasi ini hanya dapat berlaku pada situasi tertentu. Komunikasi dibatasi oleh konsekwensi konvensi bersama. Peraturan tidak hanya mempertahankan bentuk tindakan bahasa tetapi juga menggeneralisasi relasi antara pembicara dan pendengar. Agen menetapkan agar antara pembicara dan pendengar seharusnya mengikuti peraturan. Konstruktivisme-nya  Onuf tidak menggambarkan tentang pembedaan yang tajam antara materi dan realitas sosial melainkan menekankan peran apa yang secara sosial dibuat. Bagaimana materi dapat dimaknai dan bermanfaat dalam interaksi sosial. Di satu sisi, peraturan merupakan esensial sosial karena menyediakan petunjuk bagi perilaku manusia yang menawarkan makna yang memungkinkan. Di sisi lain, pelaku mempengaruhi peraturan karena setiap saat pelaku memilih sebuah peraturan, merubahnya, dan memperkuatnya lewat penciptaan peraturan yang diikuti juga oleh pihak-pihak lain. Setiap saat pelaku dapat saja memilih untuk tidak mengikuti peraturan, atau menukarkan peraturan tersebut lewat pelemahan. Hal tersebut dilakukan demi kontribusi terhadap konstitusi atas beberapa peraturan baru.
Masyarakat politik (political society) memiliki dua kepemilikan utama, yaitu, pertama,  hukum yang senantiasa mengkondisikan tindakan manusia yang selalu bermakna dan kedua, hasil peraturan  dalam sebuah distribusi keuntungan yang timpang. Kondisi ini akan menggiring ke arah berfungsinya peraturan. Politik dan masyarakat selalu bersentuhan dengan peraturan. Dengan kata lain, masyarakat selalu berbasiskan pada peraturan sementara politik selalu berkaitan dengan relasi sosial yang bersifat asimetrik yang direlasikan dengan peraturan. Orang pada situasi itu bukan hanya tidak memungkinkan untuk menghindari dari kekuasaan peraturan, tetapi mereka juga membentuk peraturan dan dunia. Dengan demikian, dalam hubungan internasional, peraturan memungkinkan aktor berinteraksi dalam relasi sosial baik politik maupun ekonomi berdasarkan atas konstruksi yang dibangun secara bersama-sama.
Konstruktivisme berada pada posisi tengah antara meanstream utama realisme, neorealisme, liberalisme di satu sisi dengan kajian critical theory. Dalam penggunaan teori, konstruktivisme berada di tengah-tengah antara teori rational choice dengan postmodernisme. Konstruktivisme berperan penting dalam menjembatani perbedaan sudut pandang antara kaum rasionalis dan reflektivis (Zehfuss : 252). Dengan demikian, konstruktivisme sebenarnya mencoba memposisikan dunia material tidak independen tetapi selalu berinteraksi dengan dunia sosial dalam konteks sentral intersubyektivitas dalam memposisikan mazhabnya sebagai penengah dari berbagai teori HI.



Stephen M. Walt
Jika realisme dan liberalisme berfokus pada faktor-faktor yang bersifat material (kasat mata) seperti power dan perdagangan maka konstruktivis berfokus pada ide.  Konstruktivis memberikan perhatiannya pada kepentingan dan identitas negara sebagai produk yang dapat dibentuk dari proses sejarah yang khusus. Mereka memberi perhatian pada wacana umum yang ada ditengah masyarakat karena wacana merefleksikan dan membentuk keyakinan dan kepentingan, dan mempertahankan norma-norma yang menjadi landasan bertindak masyarakat (accepted norms of behavior). Dengan demikian konstruktivis memberi perhatian pada sumber-sumber perubahan (sources of change). Dengan pendekatannya yang demikian maka konstruktivis menggantikan marxisme sebagai the preeminent radical perspective di dalam hubungan internasional.
Menurut perspektif konstruktivis, isu-isu utama di era pasca perang dingin berkait dengan persoalan-persoalan bagaimana kelompok-kelompok sosial yang berbeda-beda conceive (menyusun dan memahami) kepentingan dan identitas mereka.
Konstruktivis memberikan perhatian kajiannya pada persoalan-persoalan bagaimana ide dan identitas dibentuk, bagaimana ide dan identitas tersebut berkembang dan bagaimana ide dan identitas membentuk pemahaman negara dan merespon kondisi di sekitarnya.
Salah satu karakteristik dari konstruktivisme adalah non-universalis. Tidak ada ketunggalan analisa atas fenomena. Walt mencontohkan jika Wendt berfokus pada persoalan bagaimana anarki dipahami oleh negara-negara, maka kalangan konstruktivis lain menekankan pada persoalan-persoalan masa depan negara teritorial. Mereka menyatakan bahwa komunikasi transnasional dan penyebaran nilai-nilai civil (civic values) mengubah loyalitas national tradisional dan secara radikal menghasilkan bentuk-bentuk baru ikatan politik (political association).
Di dalam tabel berikut, Walt memberikan sejumlah perbedaan-perbedaan di antara ketiga pemikiran tersebut.

Tabel: Perbedaan Antar Perspektif di dalam HI
Competing Paradigm
Realism
Liberalism
Constructivism
Main theoretical proposition
Self-interest states compete constantly for power or security
Concern for power overridden by economic/political considerations (desire for prosperity, commitment to liberal values)
State behaviour shaped by elite beliefs, collective norms, and social identities
Main unit of analysis
States
States
Individual (especially elites)
Main instruments
Economic and especially military power
Varies (international institutions, economic exchange, promotion democracy)
Ideas and discourse
Modern theories
Hans Morgenthau
Kenneth Waltz
Michael Doyle
Robert Keohane
Alexander Wendt
John Ruggie
Representative modern works
Waltz, Theory of International Politics.

Mearsheimer, “Back to the Future: Instability in Europe after the Cold War” (International Security, 1990)
Keohane, After Hegemony.

Fukuyama, “The End of History?” (National Interest, 1989)
Wendt, “Anarchy Is What States Make of It” (International Organization, 1992)

Koslowski & Kratochwil, “Understanding Changes in International Politics” (International Organization, 1994)
Post-cold war prediction
Resurgence of event great power competition
Increased cooperation as liberal values, free market, and international institution spread.
Agnostic because it cannot predict the content of ideas
Main limitation
Does not account for international change
Tends to ignore the role of power
Better of describing the past than anticipating the future

Steve Smith
Menurut Smith konstruktivisme walaupun berbeda dengan aliran-aliran lainnya seperti liberalis 

Posisi konstruktivisme yang berada di antara rasionalisme dan reflektivisme bagi Smith memberikan keuntungan sendiri karena dapat menjadi jembatan yang menghubungkan kedua belah pihak yang saling “bertikai” dan sulit mencapai kesepahaman. Sebagaimana ditulis olehnya,
“I am sure that it promises to be one of the most important theoretical development of recent decades; the reason is that is that if it could deliver what it promises then it would it would be the dominant theory in the discipline, since it could relate to the all other approaches on their own terms, whereas at the moment there is virtually no contact between rationalist and reflectivist theories since they do not share the same view of how to build knowledge.
Untuk melengkapi penjelasan Walt di atas mengenai konstruktivisme ada baiknya untuk melihat beberapa inti dari pemikiran Alexander Wendt yang telah diringkas oleh Steve Smith di dalam tulisannya yang berjudul New Approaches to International Theory. Menurut Wendt, bagi neo-realis maupun neo-liberalis identitas dan kepentingan merupakan sesuatu yang given, sesuatu yang sudah ada begitu saja. Wendt tidak mempercayainya demikian, ia melihat bahwa identitas dan kepentingan merupakan hasil dari praktek inter-subjektif di antara aktor-aktor. Dengan kata lain identitas dan kepentingan merupakan hasil dari sebuah proses interaksi. Walaupun neo-realis dan neo-liberalis mengakui bahwa proses interaksi mempengaruhi perilaku aktor-aktor namun tidak bagi identitas dan kepentingan.
Selain itu Wendt juga menyatakan bahwa collective meaning menentukan struktur yang mengatur tindakan-tindakan kita. Dan aktor-aktor memperoleh kepentingan dan identitasnya melalaui pertisipasi di dalam collective meaning tersebut. Identities and interests are relational and are defined as we defined situations.
Dari sini terlihat makin jelas bahwa berbeda dengan (neo) realisme dan (neo) liberalisme, konstruktivisme memberikan penjelasan yang berbeda dalam menganalisa fenomena sosial, khususnya fenomena internasional. Konstruktivis melihat fenomena sosial merupakan hasil bentukan dari interaksi antar aktor-aktor internasional, sebaliknya dengan realisme dan liberalisme. Yang melihat ada unsur-unsur yang ada begitu saja tanpa campur tangan aktor-aktor internasional (given).
Model analisa yang diberikan oleh konstruktivisme ini tidak dapat dilepaskan pengaruhnya dari perkembangan tren wacana sosial dewasa ini yang lebih banyak menitikberatkan pada persoalan-persoalan “dunia ide” yang menitikberatkan pada persoalan-persoalan konstruksi sosial atas realitas. Perkembangan teori-teori model ini tidak dapat dilepaskan pengaruhnya dari sekelompok ilmuwan sosial Jerman yang dikenal sebagai Mahzab Frankfurt (Frankfurt School) dimana salah satu pemikir terkenalnya adalah Juergen Habermas. Dari Mahzab Frakfurt ini kemudian berkembang teori-teori reflektivisme dengan berbagai variannya.
Jika dikaitkan dengan jaman kekinian, dimana mobilitas dan jumlah informasi yang berseliweran sehari-hari sangat tinggi (information age), teori ini memiliki relevansi yang sangat signifikan. Karena saat ini kekuasaan tidak lagi dilanggengkan dengan kekuatan senjata semata melainkan juga melalui media-media informasi yang dapat mengonstruksi kesadaran masyarakat.
Hanya saja mengenai pemikiran konstruktivisme (terutama konstruktivisme Wendt), Steve Smith memberikan kritikan bahwa pemikiran Wendt tidak sepenuhnya dapat menjadi jembatan yang menghubungkan gap yang terjadi di antara rasionalisme (neo-realisme dan neo-liberalisme) dan reflektivisme (teori kritis, posmodernisme, dll). Ada lima alasan yang dikemukakan Smith:
1.      Pemikiran konstruktivisme Wendt tidak cukup memuaskan bagi kalangan reflektivis yang menyukai pandangan yang lebih radikal dibandingkan Wendt.
2.      Wendt terlalu “berbau” realis. Ini dapat dilihat dari pendapatnya yang menyatakan “to that extent, I am a statist and realist”. Artinya Wendt tetap memandang bahwa negara merupakan aktor utama dan negara tetap akan mendominasi. Padahal pemikiran ini yang ingin dirubah oleh reflektivisme.
3.      Keinginan Wendt untuk menggabungkan rasionalis dan reflektivis bagi Smith tidak mungkin dilakukan terutama berkaitan tentang persoalan “how to construct knowledge.” Rasionalis memiliki landasan positivis sementara reflektivis post-positivis. Dua pandangan ini memiliki perbedaan yang sangat jauh sehingga sulit untuk dikombinasikan.
4.      Konsep ‘struktur’ yang dikemukakan Wendt kurang material. Karena bagi Wendt struktur merupakan apa yang dipahami di kepala si aktor. Sementara bagi banyak ilmuwan struktur dipahami sebagai refleksi dari kepentingan yang material.
5.      Wendt berpendapat bahwa identitas datang dari hasil proses interaksi. Kritik yang diberikan Smith atas pendapat ini adalah kita tidak datang ke dalam sebuah interaksi tanpa membawa identitas yang sebelumnya telah didapatkan. Artinya identitas yang telah kita peroleh sebelumnya akan mempengaruhi pihak lain yang terlibat di dalam sebuah proses interaksi, begitu juga sebaliknya.
Stephen M. Walt pun memberikan kritikannya terhadap konstruktivisme bahwa kelemahan konstruksivisme terletak pada ketidakmampuannya memberikan solusi atas persoalan (Better of describing the past than anticipating the future).


Daftar Pustaka

Waltz, Kenneth, N., 1979, “Theory of International Politics”, Addison-Wesley Publishing Company, Cet. I
Wendt, Alexander, 2001, “Social Theory of International Politics”, Cambridge University Press, Cet. III.
Stephen M. Walt, ”International Relations: One World, Many Theories’, Foreign Policy, No. 110, Spring 1998
John Baylis & Steve Smith (ed.), The Globalization of World Politics: Introduction to International Relations, New York: Oxford University Press, 1997.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konflik Ambon 1999

The Ambon conflict of 1999

Sejarah Jurnalistik