Analisa Artikel
Monday, September 07, 2009
Oleh: Hary Tjahyono
ABSTRAK
Indonesia adalah sebuah Negara yang dirasakan miskin
kepemimpinan, pemimpin-pemimpin yang ada dirasakan tidak sensitive dengan
masalah kedaulatan Negara, permasalahan tersebut menjadi sebuah boomerang besar
bagi Negara, kedaulatan Indonesia yang semakin tidak di anggap oleh Negara
tetangga. Malaysia Negara yang mengaku satu rumpun dengan Indonesia dengan
sengaja menghncurkan perasan rakyat Indonesia dengan mengakui berbagi budaya
maupun kebudayaan yang dianggap menjadi sebuah keanekaragaman bangsa besar
Indonesia ini. Banyak pertentangan terjadi dalam masyarkat, yaitu buat apa
pemimipin bila tidak dapat memimpin rakyat dan menjaga kedaulatan Negara.
PENDAHULUAN
Martabat organisasi (organization dignity)
merupakan elemen terpenting dalam konsep perilaku organisasi. Maka, sebuah
organisasi tanpa martabat sesungguhnya sudah tidak bisa disebut organisasi
lagi.
Proses untuk melenyapkan martabat organisasi ini
adalah dengan lebih dulu mengikis eksistensi organisasi tersebut. Sedangkan
cara mengikis eksistensi adalah dengan menghancurkan dan mengeksploitasi
sumber-sumber dayanya (resources).
Itulah yang dilakukan Malaysia terhadap ”organisasi
mahabesar” Indonesia! Dalam konteks hubungan kedua negara, Malaysia cukup
berhasil menghancurkan eksistensi Indonesia dan akhirnya mengikis martabat
bangsa Indonesia. Rentetan dosa Malaysia sudah susah dihitung, sampai
belakangan lewat ”pencaplokan” tari pendet dan penyiksaan barbar terhadap
seorang TKI oleh aparat Malaysia yang ditayangkan secara gamblang oleh sebuah
stasiun TV swasta. Penyiksaan tak berperikemanusiaan yang hanya bisa dilakukan
oleh manusia barbar dengan naluri primitif binatang. Respons paling gampang
untuk itu memang yang bersifat reaktif emosional: perang, hajar balik Malaysia,
dan seterusnya. Namun, itu cuma melegakan hati sesaat belaka, bukan
menyelesaikan substansi permasalahan.
Dalam konteks ini, ada dua pilar organisasi yang
dikikis, yaitu sumber daya manusia (human resources) dan budaya (cultural
resources). Segudang dosa Malaysia lewat eksploitasi dan penyiksaan
terhadap para TKI kita menjadi bukti nyata bahwa SDM kita diperlakukan lebih
buruk daripada mesin produksi. Bahkan mesin produksi pun masih dipelihara.
Analoginya, kita ini ibarat perusahaan outsourcing yang mengirim
karyawan kita kepada perusahaan pelanggan. Dan, di sana karyawan kita
dieksploitasi seenaknya, tetapi kita tak berdaya apa pun.
Pengikisan sumber daya budaya tak kalah sadisnya,
mulai dari lagu ”Rasa Sayange” yang dipakai jingle kampanye Truly
Asia mereka sampai belakangan tari pendet, dan masih banyak lagi.
Prinsipnya tak jauh beda dari proses pengikisan SDM sebuah organisasi.
Pendeknya, semakin terkikis sumber-sumber daya sebagai pilar organisasi,
semakin tergerus eksistensinya.
Proses pengikisan semacam ini sampai batas tertentu
akan menghancurkan martabat organisasi. Beberapa elemen terpenting martabat
organisasi, seperti nilai-nilai kebanggaan (pride) dan identitas diri (identity),
tergerus habis. Di mata Malaysia, bangsa kita tak lebih dari segerombolan TKI
liar yang bisa diperlakukan lebih buruk dari sebuah mesin produksi. Bagi
mereka, simbol-simbol identitas dan kekayaan nilai (budaya) boleh dirampok
seenaknya. Dan kita cuma bisa geram sebab tak berdaya akibat eksistensi dan
martabat yang tergerus. Hanya bisa melongo.
ISI JURNAL
Martabat
Eksistensi dan martabat organisasi bisa digembosi oleh
pihak luar. Namun ingat, hal itu bisa dengan mudah dilakukan karena kita
sendiri sebagai ”orang dalam” organisasi, sadar atau tidak, juga lebih dulu
melakukan berbagai penggembosan yang sama. Atau, setidaknya, sesuai dengan
konsep perilaku organisasi modern, kita tak melakukan pemberdayaan organisasi (organization
empowerment) yang selayaknya.
Maka, dalam konteks penggembosan oleh Malaysia ini,
ada satu upaya pokok dalam melakukan pemberdayaan organisasi, yakni
transformasi tugas kepemimpinan, khususnya jajaran tertinggi pemimpin bangsa
ini. Transformasi tugas kepemimpinan itu menyangkut dua dimensi: tugas
manajerial (managerial task) dan tugas komunikasi (communication task).
Tugas manajerial mencakup bagaimana para pemimpin
memelihara, mengelola, mengembangkan, dan melegitimasi sumber daya budaya,
bukan cuma menikmati dan menjualnya (ini tak ubahnya eksploitasi dalam bentuk
paling halus). Pendeknya, tugas ini mulai dari yang bersifat administratif
(lihat Yudhistira ANM Massardi, Kompas, 29/8) sampai pengembangan seperti
memberikan dan mengelola nilai kreasi, inovasi, teknologi, serta eksposisi
formal dan informalnya terhadap sumber daya budaya itu.
Terhadap SDM pun tak jauh beda, bagaimana mengelolanya
sampai pada tingkat tertinggi eksistensi SDM dalam sebuah organisasi (Adrian
Levy). Bahwa SDM lebih dari sebagai aset terpenting (not only the most
important assets) sebuah organisasi, tapi bahkan sebagai organisasi itu
sendiri (human resource is the company/organization itself, lihat
”Membangun Manusia Paripurna”, Kompas, 25/6). Kita jangan hanya bisa
”memakai” dan ”mengirim” SDM (TKI) kita ke luar negeri, ini juga tak lebih dari
bentuk eksploitasi paling halus terhadap SDM.
Maka, salah satu tugas kepemimpinan terpenting terkait
dimensi manajerial ini, merujuk pada John Maxwell, bagaimana pemimpin mampu
menemukan dan memberikan tempat yang tepat bagi pengikutnya (SDM, rakyat).
Banyaknya TKI ilegal yang disiksa dan dieksploitasi bak binatang di negeri
tetangga merefleksikan bahwa mereka belum mempunyai dan menemukan ”tempat” yang
tepat bahkan di negerinya sendiri. Maka, tugas kepemimpinan para pemimpin baru
bukan hanya memenangi pemilu, ada yang jauh lebih penting: menyediakan sebanyak
mungkin ”tempat” bagi rakyatnya agar tak berkeliaran ”liar” di ”tempat”
(negeri) lain.
Tugas komunikasi menyangkut transformasi pola dan gaya
diplomatik serta berhubungan, khususnya dengan pihak luar. Singkatnya, pola
komunikasi pemimpin mesti bergerak dari prinsip populis menuju asertif. Populis
itu orientasinya ingin merangkul dan menyenangkan sebanyak mungkin pihak karena
itu cenderung terlalu santun, hati-hati, kadang hipokrit, dan substansi pesan
sering tak sampai. Sedangkan asertif cenderung lugas, tegas, penetratif, dan
substansi pesan sampai secara jitu.
Populis cenderung tidak jitu karena mengedepankan
”kemasan” (sensasi). Populis mungkin cocok untuk memenangi pemilu, tetapi tak
cocok untuk kasus Malaysia ini. Asertif lebih jitu karena mengutamakan ”isi”
(substansi). Itu sebabnya Malaysia santai saja selama ini karena pola komunikasi
pemimpin kita sangat populis dan mereka cuma merasa dielus-elus kepalanya.
KESIMPULAN
Menghadapi masalah eksistensi dan martabat bangsa
seperti dalam konteks ini memang tugas mahabesar segenap komponen bangsa.
Namun, tanggung jawab terbesar tetap ada pada para pemimpin. Sebab, tugas utama
pemimpin adalah menegakkan dan mengembangkan eksistensi serta martabat
organisasi dan segenap anggotanya. Kalau tidak, buat apa ada pemimpin.
Pengamat Sosial
Diambil dari Kompas Sabtu, 5 September 2009
ANALISIS ISI
Dalam
juranal tersebut memperlihatkan bagaimana suatu organisasi berpengaruh besar
terhadap sebuah pembangunan kepemimpinan, dalam hal ini martabat dalam
organisasilah sebagai sebuah aspek penting pembagunan kepemimipinan dalam suatu
organisasi, dan dalam hal ini permaslahan yang ditimbulkan oleh Malaysia dengan
menekan kedaulatan Negara dalam hal pengakuan budaya menjadi suatu gambaran
penting bahwa seharusnya masalah tersebut menjadi anti klimaks dan menjadi
sebuah gambaran penting bahwa kemajuan organisasi Indonesia dalam hal ini
pembentukan kepemimpin harus segera dilaksankan.
Pengembosan-pengembosan
yang terjadi jangan sampai menimbulkan kemerosotan martabat organisasi
Indonesia, cukup sudah rakyat menderita dengan masalah ekonomi yang terjadi
jangan sampai masyarakat terbebani oleh masalah kedaulatan Indonesia yang
semakin merosot, manajerial yang baik harusnya segera dilaksakan agar
pengembosan yang terjadi dapat ditanggulangi dan dapat memompa kembali semangat
masyarakat terhadap kebanggaan nasionalisme Indonesia.
Kepemimpinan
sendiri harusnya dapat digambarkan dengan kemampuan-kemampuan yang baik, baik
dalam aspek menejerial suatu organisasi pemerintahan maupun diplomasi yang baik
untuk menjaga kedaulatan sebuah bangsa. Tugas komunikasi menyangkut
transformasi pola dan gaya diplomatik serta berhubungan, khususnya dengan pihak
luar. Singkatnya, pola komunikasi pemimpin mesti bergerak dari prinsip populis
menuju asertif. Populis itu orientasinya ingin merangkul dan menyenangkan
sebanyak mungkin pihak karena itu cenderung terlalu santun, hati-hati, kadang
hipokrit, dan substansi pesan sering tak sampai. Sedangkan asertif cenderung
lugas, tegas, penetratif, dan substansi pesan sampai secara jitu.
Populis cenderung tidak jitu karena mengedepankan
”kemasan” (sensasi). Populis mungkin cocok untuk memenangi pemilu, tetapi tak
cocok untuk kasus Malaysia ini. Asertif lebih jitu karena mengutamakan ”isi”
(substansi). Itu sebabnya Malaysia santai saja selama ini karena pola
komunikasi pemimpin kita sangat populis dan mereka cuma merasa dielus-elus
kepalanya.
Populis
bukanlah cara yang tepat untuk membangun suatu Negara, populis dalam hal ini
adalah sebuah keculsan pemimpin yang akhirnya tidak perduli dengan apa-apa yang
dibanggakan dan menjadi sebuah budaya masyarakat, sebuah kemrosotan pemimpin
Indonesia ialah hanya mengeluh saat diganggu dan tidak melakukan pemikiran
jangka panjang untuk melihat masalah-masalah yang akan terjadi kemudian. Negara
ini adalah Negara yang mempunyai keanekaragaman, baik budaya, bangsa, bahasa
maupun aspek-aspek lain, hal ini seharusnya sudah dijaga sedari dulu (
dipatenkan ) karena apbila tidak dilakukan tindakan secara dini akan menjadi
permsalahan yang besar yang dapat merugikan sebuah Negara, bangsa maupun
menjadi sebuah momok dalam kepercayan masyarakat terhadap Negara itu sendiri.
Permasalahan
yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia bukanlah masalah yang tiba-tiba
terjadi, namun ada beberapa aspekyang mengakibatkan permsalahan tersebut, dan
salah satunya kebutuhan seorang pemimpin yang tanggap dan cakap untuk menelisik
permasalahan-permaslahan kedepan yang akan terjadi. Dalam beberapa aspek
permasalahan Indonesia dan Malaysia terjadi karena adanya keterkaitan rumpun
yang dianggap Malaysia bahwa budaya Indonesia juga adalah budaya Malaysia
dikarenakan aspek satu rumpun, disis lain adalah kesalahan pemimpin Indonesia
yang belum mematenkan seluruh budaya yang ada dan keanekaragaman yang ada
menjadi hak cipta budaya Indonesia.
Pengakuan
Malaysia atas budaya Indonesia dianggap suatu kerugian besar bangsa, baik
pengakuan yang melemahkan kedaulatan Indonesia maupun penggunaan budaya
Indonesia sebagai alat penting peningkatan devisa Negara Malaysia dengan
keanekaragaman bngsa Indonesia menjadi ajang budaya untuk mendorong pariwisata
budaya Malaysia, dari wayang, lagu sayange hingga pengakuan tari milik bangsa
Indonesia menjadi luka yang sangat dalam bagi masyarakat, dimana budaya yang
turun menurun diwarisi diambil secara kasar oleh orang lain.
Martabat
masyarakat Indonesia seakan dinilai tidak berharga, harga diri bangsa yang
dinilai kuat terkikis karena tidak adanya dukungan eksistensi oleh pemerintah,
harga diri bangsa seakan dijatuhkan begitu saja oleh pengklaiman Negara
Malaysia terhadap budaya-budaya Indonesia, dalam maslah tersebut peningkatan
eksistensi budaya oleh pemerintah adalah suatu harapan besar bangsa untuk
kembali menaikan harga diri bangsa yang telah jatuh, dan manajerial yang baik
merupakan salah satu jawaban penting yang harus dilakukan, jangan sampai pemerintah
maju setelah adanya rakyat berbicara, dan Negara hanya terpaku dan merasa kaget
bahwa banyak milik Negara yang telah tercuri.
Permasalahan
klaim Malaysia terhadap budaya jangan sampai sama dengan tragedy pulau sipadan
dan legitan pada masa saat pertumbuhan reformasi dimulai yang telah diambil
Malaysia ( di Klaim ) dan dimenangkan Malaysia, zaman tersebut harusnya tidak
terjadi kembali dalam hal ini adalah aspek budaya yang ada. Dari gambaran pulau
sipadan dan legitan seharusnya pemerintah belajar dan membentuk berbagai
strategi untuk melakukan mempertahankan kedaulatan Negara, dan belajr dari hal
tersebut kedaulatan Negara juga harus menjadi sebuah masalah penting dan
diprioritaskan dalam suatu jangka kepemimpinan yang berlanjut.
Organisasi
dalam harfiahnya berarti sebuah wadah untuk melakukan semua kegiatan yang
membangun sebuah kreatifitas, efisiensi, dan kepemimpinan, dan dalam hal ini
Negara adalah sebuah wadah untuk apresiasi dan aspirasi masyarakat. Sebuah
organisasi memerlukan seorang atau beberapa pemimipin yang dapat mewadahi
aspirasi rakyat, memanajemen masyarakat dan megembangkan masyarakat yang ada,
dalam sebuah organisasi haruslah mempunyai tujuan yang sama, dan dalam konteks
Indonesia ialah yang tercermin didalam pancasila.
Sebuah
kepemimpinan yang baik seharusnya mempunyai planning atas organisasi yang baik,
hal ini bertujuan untuk kemajuan dan pencapaian cita-cita organisasi dalam
konteks tersebut adalah cita-cita bangsa, hal tersebut juga harus diikuti
pengaturan organisasi pemerintahan yang baik dalam pelaksanaan planning –
planning tersebut, baik dalam masalah kebijakan maupun keputusan yang akn
dilakukan sebuah pemerintahan, aspek lain selanjutnya adalah harus ada laporan
yang baik terhadap planning-palanning yang telah terjadi, laporan tersebut
adalah laporan riil yang tejadi saat planning itu terjadi, hal ini juga harus
didukung oleh pengawasan yang baik, baik dari masyarakat maupu pemimpin
pemerintahan itu sendiri, sehingga tidak melenceng dari ketentuan-ketentuan
yang ada.
Keorganisasian
diatas bukanlah hal fiktif untuk dilakukan, ini tercontoh pada masa kebobrokan
orde baru, orde baru yang dianggap sebagian kalangan adalah kebobrokan bangsa runtuhnya Orba
meninggalkan hutang Negara yang sangat besar 114,3 miliar dollar Amerika yang
terdiri dari hutang pihak swasta dan hutang luar negeri, pada saat itu pula
nilai tukar rupiah terhadap USD naik dari kisaran Rp. 2.500/USD menjadi kisaran
Rp.10.000/USD. Pada saat itu Indonesia sangat terpuruk dengan banyaknya hutang
dan kasus korupsi oleh badan-badan pemerintah yang sangat besar dan juga kasus
korupsi presiden yang saat itu menjabat yaitu Soeharto.
Dilihat
dari perspektif marxisme yaitu penggolongan kelas, terlihat sangat jelas
digambarkan. Soeharto yang pada saat itu terkait kasus korupsi dan pelanggaran
HAM besar-besaran tidak dapat disidangkan sampai dengan saat ini. Terlihat
bahwa walaupun Soeharto telah melakukan banyak pelanggaran namun karena masih
dianggap berkuasa dan memiliki Modal yang besar dengan kisaran harta keluarga
sekitar mencapai 15milliar U$D sampai saat ini. Sedangkan sebaliknya rakyat
Indonesia mengalami kemiskinan dikarenakan lapangan pekerjaan yang semakin
sempit dan upah minimum sangat rendah yaitu sekitar Rp.500.000/bulan yang
sangat tidak mencukupi.
Sedangkan
para pejabat yang pendapatannya sekitar 15jt/bln banyak yang melakukan korupsi.
Untuk terus menambah pundi-pundi kekayaannya. Namun masa orde baru mempunyai korelasi penting
terhapan penguatan keorganisasian, masa orde baru mempunyai planning yang sudah
disetting sebelumnya oleh pemimpin pada masa tersebut ini dibuktikan dengan
adanya repelita yang digagas saat kepemimpinan soeharto, planning tersebut juga
diawasi ketat dan diberikan laporan setelah planning itu terlaksana kepada
masyarakat.
Dalam
cakupan organisasi pemerintahan yang baik juga harus diikuti struktur
pemerintahan yang baik, dengan adanya struktur pemerintahan akan menjadi sebuah
motorik pergerakan pemerintahan itu sendiri, struktur tersebutpun hruslah
lengkap untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan yang ada dalam suatu pemerintahan, struktur
yang ada juga harus dapat memaksimalkan tugas-tugas yang menjadi sebuah
tanggungjawab, hal ini bila tidak terjadi maka akan menimbulkan ketimpangan
Negara itu sendiri, struktur organisasi yang tidak baik malah akan membangun
suatu kemerosotan system Negara yang ada, penggambaran tersebut juga tergambar
pada saat masa orde lama dan orde baru, dimana sturtur yang ada tidak maksimal
dan mementingkan kepentingan pribadi semata, dan akhirnya permasalahan tersebut
mendorong kehancuran masa orde lam dan orde baru.
Masalah
– masalah diatas dianggap sebagai poros kegagalan Indonesia membangun
organisasi pemerintahan yang ada, sehingga masalah Malaysia terjadi dan hal
tersebut dikarenakan organisasi-organisasi Indonesia telah gagal mencetak
pemimpin pemimpin bangsa, uraian – uraian diatas seharusnya dijadikan ganbaran
penting dalam perbaikan kepemimpinan dan keorganisasian Negara Indonesia,
jangan sampai kebobrokan Indonesia berlanjut kedepan hanya dikarenakan sisitem
Negara yang tidak baik sehinnga martabat bangsa Indonesia semakin tercoreng
baik dari dalam masyarakat pemerintahan itu sendiri maupun pandangan dunia
internasional.
METODE PENULISAN JURNAL
Penelitian junal ini menggunakan metode
dedukatif yaitu dengan berdasarkan kerangka teori, kemudian ditarik suatu
hipotesa yang akan dibuktikan melalui data-data empiris yang ada. Penulis ini
lebih bersifat library research atau
studi kepustakaan dengan menggunakan data sekunder seperti surat kabar, majalah,
tabloid, dan menggunakan situs-situs internet sebagai sumber data juga
dilakukan terutama situs-situs resmi yang berhubungan dengan permasalahan
kepemimpinan yang berakibat terjadinya permasalahan antara Indonesia dan
Malaysia dalam hubungan diplomati yang mencakup kedaulatan suatu Negara. Dan
dalam metode penulisan jurnal ini banyak menggunakan informasi berita dalam
surat kabar.
SISTEMATIKA
PENULISAN JURNAL
Sistematika
penulisan jurnal diatas adalah sebagai berikut :
Pendahuluan.
Dalam penulisan jurnal diatas dibuka
dengan pendahuluan dimana penulisan pendahuluan membahas gambaran kecil dari
arti sebuah kepemimpinan, dan juga membahas bagaimana kepemimipinan tersebut
berhungan langsung dengan sebuah martabat keorganisasian yang semakin menurun
dalam perkembangan pembentukan atau dalam mencetak pemimpin bangsa. Selain itu
dalam pendahuluan menceritakan bagaimana imbas dari kegagalan mencetak pemimpin
hingga martabat bangsa dilecehkan Negara tentangga dengan pengklaiman
besar-besaran budaya bangsa Indonesia. Hal tersebut sebagai pengikisan budaya
bangsa, pengikisan
sumber daya budaya tersebut dinilai sadis, mulai dari lagu ”Rasa Sayange” yang
dipakai jingle kampanye Truly Asia mereka sampai belakangan tari
pendet, dan masih banyak lagi. Prinsipnya tak jauh beda dari proses pengikisan
SDM sebuah organisasi. Pendeknya, semakin terkikis sumber-sumber daya sebagai
pilar organisasi, semakin tergerus eksistensinya
Isi
Dalam
penulisan isi penulis memperkuat apa yang disampaikan dalam pendahuluan dengan
membahas martabat, dalam konteks ini adalah martabat organisasi yang semakin
terkikis, dalam konteks martabat tersebut penulis coba menerangkan apa itu
suatu martabat. Penulis juga mengingatkan bahwa eksistensi dan martabat organisasi bisa digembosi oleh
pihak luar. Namun ingat, hal itu bisa dengan mudah dilakukan karena kita
sendiri sebagai ”orang dalam” organisasi, sadar atau tidak, juga lebih dulu
melakukan berbagai penggembosan yang sama. Atau, setidaknya, sesuai dengan
konsep perilaku organisasi modern, kita tak melakukan pemberdayaan organisasi (organization
empowerment) yang selayaknya. Proses untuk melenyapkan martabat organisasi
ini adalah dengan lebih dulu mengikis eksistensi organisasi tersebut. Sedangkan
cara mengikis eksistensi adalah dengan menghancurkan dan mengeksploitasi
sumber-sumber dayanya (resources).
Penulis juga menceritakan adanya dua pilar organisasi
yang dikikis, yaitu sumber daya manusia (human resources) dan budaya (cultural
resources). Segudang dosa Malaysia lewat eksploitasi dan penyiksaan
terhadap para TKI kita menjadi bukti nyata bahwa SDM kita diperlakukan lebih
buruk daripada mesin produksi. Bahkan mesin produksi pun masih dipelihara.
Analoginya, kita ini ibarat perusahaan outsourcing yang mengirim
karyawan kita kepada perusahaan pelanggan. Dan, di sana karyawan kita
dieksploitasi seenaknya, tetapi kita tak berdaya apa pun.
Selain itu penulis juga menyinggung tugas komunikasi
menyangkut transformasi pola dan gaya diplomatic yang serta merta berhubungan,
khususnya dengan pihak luar. Singkatnya, pola komunikasi pemimpin mesti
bergerak dari prinsip populis menuju asertif. Populis itu orientasinya ingin
merangkul dan menyenangkan sebanyak mungkin pihak karena itu cenderung terlalu
santun, hati-hati, kadang hipokrit, dan substansi pesan sering tak sampai.
Sedangkan asertif cenderung lugas, tegas, penetratif, dan substansi pesan
sampai secara jitu.
Populis cenderung tidak jitu karena mengedepankan
”kemasan” (sensasi). Populis mungkin cocok untuk memenangi pemilu, tetapi tak
cocok untuk kasus Malaysia ini. Asertif lebih jitu karena mengutamakan ”isi”
(substansi). Itu sebabnya Malaysia santai saja selama ini karena pola
komunikasi pemimpin kita sangat populis dan mereka cuma merasa dielus-elus
kepalanya.
Kesimpulan
Dalam
paragraph kesimpulan ini penulis mengingatkan bahwa menghadapi masalah
eksistensi dan martabat bangsa seperti dalam konteks diatas memang tugas
mahabesar segenap komponen bangsa. Namun, tanggung jawab terbesar tetap ada
pada para pemimpin. Sebab, tugas utama pemimpin adalah menegakkan dan
mengembangkan eksistensi serta martabat organisasi dan segenap anggotanya.
Kalau tidak, buat apa ada pemimpin.
Daftar
Pustaka Analisa Jurnal
Artikel Kompas Sabtu, 5 September
2009
Yudhistira ANM Massardi, Kompas, 29/8
”Membangun Manusia Paripurna”, Kompas, 25/6
Bahan ajar kuliah Demokrasi, oleh
Bambang Sunaryono, UMY
Bahan ajar Teory Hubungan
Internasional oleh ibu nurazizah, UMY
Komentar
Posting Komentar