Analisa Artikel


Monday, September 07, 2009

Oleh: Hary Tjahyono


        ABSTRAK

Indonesia adalah sebuah Negara yang dirasakan miskin kepemimpinan, pemimpin-pemimpin yang ada dirasakan tidak sensitive dengan masalah kedaulatan Negara, permasalahan tersebut menjadi sebuah boomerang besar bagi Negara, kedaulatan Indonesia yang semakin tidak di anggap oleh Negara tetangga. Malaysia Negara yang mengaku satu rumpun dengan Indonesia dengan sengaja menghncurkan perasan rakyat Indonesia dengan mengakui berbagi budaya maupun kebudayaan yang dianggap menjadi sebuah keanekaragaman bangsa besar Indonesia ini. Banyak pertentangan terjadi dalam masyarkat, yaitu buat apa pemimipin bila tidak dapat memimpin rakyat dan menjaga kedaulatan Negara.

PENDAHULUAN

Martabat organisasi (organization dignity) merupakan elemen terpenting dalam konsep perilaku organisasi. Maka, sebuah organisasi tanpa martabat sesungguhnya sudah tidak bisa disebut organisasi lagi.

Proses untuk melenyapkan martabat organisasi ini adalah dengan lebih dulu mengikis eksistensi organisasi tersebut. Sedangkan cara mengikis eksistensi adalah dengan menghancurkan dan mengeksploitasi sumber-sumber dayanya (resources).

Itulah yang dilakukan Malaysia terhadap ”organisasi mahabesar” Indonesia! Dalam konteks hubungan kedua negara, Malaysia cukup berhasil menghancurkan eksistensi Indonesia dan akhirnya mengikis martabat bangsa Indonesia. Rentetan dosa Malaysia sudah susah dihitung, sampai belakangan lewat ”pencaplokan” tari pendet dan penyiksaan barbar terhadap seorang TKI oleh aparat Malaysia yang ditayangkan secara gamblang oleh sebuah stasiun TV swasta. Penyiksaan tak berperikemanusiaan yang hanya bisa dilakukan oleh manusia barbar dengan naluri primitif binatang. Respons paling gampang untuk itu memang yang bersifat reaktif emosional: perang, hajar balik Malaysia, dan seterusnya. Namun, itu cuma melegakan hati sesaat belaka, bukan menyelesaikan substansi permasalahan.

Dalam konteks ini, ada dua pilar organisasi yang dikikis, yaitu sumber daya manusia (human resources) dan budaya (cultural resources). Segudang dosa Malaysia lewat eksploitasi dan penyiksaan terhadap para TKI kita menjadi bukti nyata bahwa SDM kita diperlakukan lebih buruk daripada mesin produksi. Bahkan mesin produksi pun masih dipelihara. Analoginya, kita ini ibarat perusahaan outsourcing yang mengirim karyawan kita kepada perusahaan pelanggan. Dan, di sana karyawan kita dieksploitasi seenaknya, tetapi kita tak berdaya apa pun.

Pengikisan sumber daya budaya tak kalah sadisnya, mulai dari lagu ”Rasa Sayange” yang dipakai jingle kampanye Truly Asia mereka sampai belakangan tari pendet, dan masih banyak lagi. Prinsipnya tak jauh beda dari proses pengikisan SDM sebuah organisasi. Pendeknya, semakin terkikis sumber-sumber daya sebagai pilar organisasi, semakin tergerus eksistensinya.

Proses pengikisan semacam ini sampai batas tertentu akan menghancurkan martabat organisasi. Beberapa elemen terpenting martabat organisasi, seperti nilai-nilai kebanggaan (pride) dan identitas diri (identity), tergerus habis. Di mata Malaysia, bangsa kita tak lebih dari segerombolan TKI liar yang bisa diperlakukan lebih buruk dari sebuah mesin produksi. Bagi mereka, simbol-simbol identitas dan kekayaan nilai (budaya) boleh dirampok seenaknya. Dan kita cuma bisa geram sebab tak berdaya akibat eksistensi dan martabat yang tergerus. Hanya bisa melongo.


ISI JURNAL

Martabat

Eksistensi dan martabat organisasi bisa digembosi oleh pihak luar. Namun ingat, hal itu bisa dengan mudah dilakukan karena kita sendiri sebagai ”orang dalam” organisasi, sadar atau tidak, juga lebih dulu melakukan berbagai penggembosan yang sama. Atau, setidaknya, sesuai dengan konsep perilaku organisasi modern, kita tak melakukan pemberdayaan organisasi (organization empowerment) yang selayaknya.

Maka, dalam konteks penggembosan oleh Malaysia ini, ada satu upaya pokok dalam melakukan pemberdayaan organisasi, yakni transformasi tugas kepemimpinan, khususnya jajaran tertinggi pemimpin bangsa ini. Transformasi tugas kepemimpinan itu menyangkut dua dimensi: tugas manajerial (managerial task) dan tugas komunikasi (communication task).

Tugas manajerial mencakup bagaimana para pemimpin memelihara, mengelola, mengembangkan, dan melegitimasi sumber daya budaya, bukan cuma menikmati dan menjualnya (ini tak ubahnya eksploitasi dalam bentuk paling halus). Pendeknya, tugas ini mulai dari yang bersifat administratif (lihat Yudhistira ANM Massardi, Kompas, 29/8) sampai pengembangan seperti memberikan dan mengelola nilai kreasi, inovasi, teknologi, serta eksposisi formal dan informalnya terhadap sumber daya budaya itu.

Terhadap SDM pun tak jauh beda, bagaimana mengelolanya sampai pada tingkat tertinggi eksistensi SDM dalam sebuah organisasi (Adrian Levy). Bahwa SDM lebih dari sebagai aset terpenting (not only the most important assets) sebuah organisasi, tapi bahkan sebagai organisasi itu sendiri (human resource is the company/organization itself, lihat ”Membangun Manusia Paripurna”, Kompas, 25/6). Kita jangan hanya bisa ”memakai” dan ”mengirim” SDM (TKI) kita ke luar negeri, ini juga tak lebih dari bentuk eksploitasi paling halus terhadap SDM.

Maka, salah satu tugas kepemimpinan terpenting terkait dimensi manajerial ini, merujuk pada John Maxwell, bagaimana pemimpin mampu menemukan dan memberikan tempat yang tepat bagi pengikutnya (SDM, rakyat). Banyaknya TKI ilegal yang disiksa dan dieksploitasi bak binatang di negeri tetangga merefleksikan bahwa mereka belum mempunyai dan menemukan ”tempat” yang tepat bahkan di negerinya sendiri. Maka, tugas kepemimpinan para pemimpin baru bukan hanya memenangi pemilu, ada yang jauh lebih penting: menyediakan sebanyak mungkin ”tempat” bagi rakyatnya agar tak berkeliaran ”liar” di ”tempat” (negeri) lain.

Tugas komunikasi menyangkut transformasi pola dan gaya diplomatik serta berhubungan, khususnya dengan pihak luar. Singkatnya, pola komunikasi pemimpin mesti bergerak dari prinsip populis menuju asertif. Populis itu orientasinya ingin merangkul dan menyenangkan sebanyak mungkin pihak karena itu cenderung terlalu santun, hati-hati, kadang hipokrit, dan substansi pesan sering tak sampai. Sedangkan asertif cenderung lugas, tegas, penetratif, dan substansi pesan sampai secara jitu.

Populis cenderung tidak jitu karena mengedepankan ”kemasan” (sensasi). Populis mungkin cocok untuk memenangi pemilu, tetapi tak cocok untuk kasus Malaysia ini. Asertif lebih jitu karena mengutamakan ”isi” (substansi). Itu sebabnya Malaysia santai saja selama ini karena pola komunikasi pemimpin kita sangat populis dan mereka cuma merasa dielus-elus kepalanya.

KESIMPULAN

Menghadapi masalah eksistensi dan martabat bangsa seperti dalam konteks ini memang tugas mahabesar segenap komponen bangsa. Namun, tanggung jawab terbesar tetap ada pada para pemimpin. Sebab, tugas utama pemimpin adalah menegakkan dan mengembangkan eksistensi serta martabat organisasi dan segenap anggotanya. Kalau tidak, buat apa ada pemimpin.

Pengamat Sosial

Diambil dari Kompas Sabtu, 5 September 2009






ANALISIS ISI


               Dalam juranal tersebut memperlihatkan bagaimana suatu organisasi berpengaruh besar terhadap sebuah pembangunan kepemimpinan, dalam hal ini martabat dalam organisasilah sebagai sebuah aspek penting pembagunan kepemimipinan dalam suatu organisasi, dan dalam hal ini permaslahan yang ditimbulkan oleh Malaysia dengan menekan kedaulatan Negara dalam hal pengakuan budaya menjadi suatu gambaran penting bahwa seharusnya masalah tersebut menjadi anti klimaks dan menjadi sebuah gambaran penting bahwa kemajuan organisasi Indonesia dalam hal ini pembentukan kepemimpin harus segera dilaksankan.

               Pengembosan-pengembosan yang terjadi jangan sampai menimbulkan kemerosotan martabat organisasi Indonesia, cukup sudah rakyat menderita dengan masalah ekonomi yang terjadi jangan sampai masyarakat terbebani oleh masalah kedaulatan Indonesia yang semakin merosot, manajerial yang baik harusnya segera dilaksakan agar pengembosan yang terjadi dapat ditanggulangi dan dapat memompa kembali semangat masyarakat terhadap kebanggaan nasionalisme Indonesia.

   Kepemimpinan sendiri harusnya dapat digambarkan dengan kemampuan-kemampuan yang baik, baik dalam aspek menejerial suatu organisasi pemerintahan maupun diplomasi yang baik untuk menjaga kedaulatan sebuah bangsa. Tugas komunikasi menyangkut transformasi pola dan gaya diplomatik serta berhubungan, khususnya dengan pihak luar. Singkatnya, pola komunikasi pemimpin mesti bergerak dari prinsip populis menuju asertif. Populis itu orientasinya ingin merangkul dan menyenangkan sebanyak mungkin pihak karena itu cenderung terlalu santun, hati-hati, kadang hipokrit, dan substansi pesan sering tak sampai. Sedangkan asertif cenderung lugas, tegas, penetratif, dan substansi pesan sampai secara jitu.

Populis cenderung tidak jitu karena mengedepankan ”kemasan” (sensasi). Populis mungkin cocok untuk memenangi pemilu, tetapi tak cocok untuk kasus Malaysia ini. Asertif lebih jitu karena mengutamakan ”isi” (substansi). Itu sebabnya Malaysia santai saja selama ini karena pola komunikasi pemimpin kita sangat populis dan mereka cuma merasa dielus-elus kepalanya.

               Populis bukanlah cara yang tepat untuk membangun suatu Negara, populis dalam hal ini adalah sebuah keculsan pemimpin yang akhirnya tidak perduli dengan apa-apa yang dibanggakan dan menjadi sebuah budaya masyarakat, sebuah kemrosotan pemimpin Indonesia ialah hanya mengeluh saat diganggu dan tidak melakukan pemikiran jangka panjang untuk melihat masalah-masalah yang akan terjadi kemudian. Negara ini adalah Negara yang mempunyai keanekaragaman, baik budaya, bangsa, bahasa maupun aspek-aspek lain, hal ini seharusnya sudah dijaga sedari dulu ( dipatenkan ) karena apbila tidak dilakukan tindakan secara dini akan menjadi permsalahan yang besar yang dapat merugikan sebuah Negara, bangsa maupun menjadi sebuah momok dalam kepercayan masyarakat terhadap Negara itu sendiri.

               Permasalahan yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia bukanlah masalah yang tiba-tiba terjadi, namun ada beberapa aspekyang mengakibatkan permsalahan tersebut, dan salah satunya kebutuhan seorang pemimpin yang tanggap dan cakap untuk menelisik permasalahan-permaslahan kedepan yang akan terjadi. Dalam beberapa aspek permasalahan Indonesia dan Malaysia terjadi karena adanya keterkaitan rumpun yang dianggap Malaysia bahwa budaya Indonesia juga adalah budaya Malaysia dikarenakan aspek satu rumpun, disis lain adalah kesalahan pemimpin Indonesia yang belum mematenkan seluruh budaya yang ada dan keanekaragaman yang ada menjadi hak cipta budaya Indonesia.

               Pengakuan Malaysia atas budaya Indonesia dianggap suatu kerugian besar bangsa, baik pengakuan yang melemahkan kedaulatan Indonesia maupun penggunaan budaya Indonesia sebagai alat penting peningkatan devisa Negara Malaysia dengan keanekaragaman bngsa Indonesia menjadi ajang budaya untuk mendorong pariwisata budaya Malaysia, dari wayang, lagu sayange hingga pengakuan tari milik bangsa Indonesia menjadi luka yang sangat dalam bagi masyarakat, dimana budaya yang turun menurun diwarisi diambil secara kasar oleh orang lain.

               Martabat masyarakat Indonesia seakan dinilai tidak berharga, harga diri bangsa yang dinilai kuat terkikis karena tidak adanya dukungan eksistensi oleh pemerintah, harga diri bangsa seakan dijatuhkan begitu saja oleh pengklaiman Negara Malaysia terhadap budaya-budaya Indonesia, dalam maslah tersebut peningkatan eksistensi budaya oleh pemerintah adalah suatu harapan besar bangsa untuk kembali menaikan harga diri bangsa yang telah jatuh, dan manajerial yang baik merupakan salah satu jawaban penting yang harus dilakukan, jangan sampai pemerintah maju setelah adanya rakyat berbicara, dan Negara hanya terpaku dan merasa kaget bahwa banyak milik Negara yang telah tercuri.

               Permasalahan klaim Malaysia terhadap budaya jangan sampai sama dengan tragedy pulau sipadan dan legitan pada masa saat pertumbuhan reformasi dimulai yang telah diambil Malaysia ( di Klaim ) dan dimenangkan Malaysia, zaman tersebut harusnya tidak terjadi kembali dalam hal ini adalah aspek budaya yang ada. Dari gambaran pulau sipadan dan legitan seharusnya pemerintah belajar dan membentuk berbagai strategi untuk melakukan mempertahankan kedaulatan Negara, dan belajr dari hal tersebut kedaulatan Negara juga harus menjadi sebuah masalah penting dan diprioritaskan dalam suatu jangka kepemimpinan yang berlanjut.

               Organisasi dalam harfiahnya berarti sebuah wadah untuk melakukan semua kegiatan yang membangun sebuah kreatifitas, efisiensi, dan kepemimpinan, dan dalam hal ini Negara adalah sebuah wadah untuk apresiasi dan aspirasi masyarakat. Sebuah organisasi memerlukan seorang atau beberapa pemimipin yang dapat mewadahi aspirasi rakyat, memanajemen masyarakat dan megembangkan masyarakat yang ada, dalam sebuah organisasi haruslah mempunyai tujuan yang sama, dan dalam konteks Indonesia ialah yang tercermin didalam pancasila.

               Sebuah kepemimpinan yang baik seharusnya mempunyai planning atas organisasi yang baik, hal ini bertujuan untuk kemajuan dan pencapaian cita-cita organisasi dalam konteks tersebut adalah cita-cita bangsa, hal tersebut juga harus diikuti pengaturan organisasi pemerintahan yang baik dalam pelaksanaan planning – planning tersebut, baik dalam masalah kebijakan maupun keputusan yang akn dilakukan sebuah pemerintahan, aspek lain selanjutnya adalah harus ada laporan yang baik terhadap planning-palanning yang telah terjadi, laporan tersebut adalah laporan riil yang tejadi saat planning itu terjadi, hal ini juga harus didukung oleh pengawasan yang baik, baik dari masyarakat maupu pemimpin pemerintahan itu sendiri, sehingga tidak melenceng dari ketentuan-ketentuan yang ada.

               Keorganisasian diatas bukanlah hal fiktif untuk dilakukan, ini tercontoh pada masa kebobrokan orde baru, orde baru yang dianggap sebagian kalangan adalah kebobrokan bangsa runtuhnya Orba meninggalkan hutang Negara yang sangat besar 114,3 miliar dollar Amerika yang terdiri dari hutang pihak swasta dan hutang luar negeri, pada saat itu pula nilai tukar rupiah terhadap USD naik dari kisaran Rp. 2.500/USD menjadi kisaran Rp.10.000/USD. Pada saat itu Indonesia sangat terpuruk dengan banyaknya hutang dan kasus korupsi oleh badan-badan pemerintah yang sangat besar dan juga kasus korupsi presiden yang saat itu menjabat yaitu Soeharto.

               Dilihat dari perspektif marxisme yaitu penggolongan kelas, terlihat sangat jelas digambarkan. Soeharto yang pada saat itu terkait kasus korupsi dan pelanggaran HAM besar-besaran tidak dapat disidangkan sampai dengan saat ini. Terlihat bahwa walaupun Soeharto telah melakukan banyak pelanggaran namun karena masih dianggap berkuasa dan memiliki Modal yang besar dengan kisaran harta keluarga sekitar mencapai 15milliar U$D sampai saat ini. Sedangkan sebaliknya rakyat Indonesia mengalami kemiskinan dikarenakan lapangan pekerjaan yang semakin sempit dan upah minimum sangat rendah yaitu sekitar Rp.500.000/bulan yang sangat tidak mencukupi.

               Sedangkan para pejabat yang pendapatannya sekitar 15jt/bln banyak yang melakukan korupsi. Untuk terus menambah pundi-pundi kekayaannya. Namun masa orde baru mempunyai korelasi penting terhapan penguatan keorganisasian, masa orde baru mempunyai planning yang sudah disetting sebelumnya oleh pemimpin pada masa tersebut ini dibuktikan dengan adanya repelita yang digagas saat kepemimpinan soeharto, planning tersebut juga diawasi ketat dan diberikan laporan setelah planning itu terlaksana kepada masyarakat.

              
               Dalam cakupan organisasi pemerintahan yang baik juga harus diikuti struktur pemerintahan yang baik, dengan adanya struktur pemerintahan akan menjadi sebuah motorik pergerakan pemerintahan itu sendiri, struktur tersebutpun hruslah lengkap untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan yang ada dalam suatu pemerintahan, struktur yang ada juga harus dapat memaksimalkan tugas-tugas yang menjadi sebuah tanggungjawab, hal ini bila tidak terjadi maka akan menimbulkan ketimpangan Negara itu sendiri, struktur organisasi yang tidak baik malah akan membangun suatu kemerosotan system Negara yang ada, penggambaran tersebut juga tergambar pada saat masa orde lama dan orde baru, dimana sturtur yang ada tidak maksimal dan mementingkan kepentingan pribadi semata, dan akhirnya permasalahan tersebut mendorong kehancuran masa orde lam dan orde baru.

               Masalah – masalah diatas dianggap sebagai poros kegagalan Indonesia membangun organisasi pemerintahan yang ada, sehingga masalah Malaysia terjadi dan hal tersebut dikarenakan organisasi-organisasi Indonesia telah gagal mencetak pemimpin pemimpin bangsa, uraian – uraian diatas seharusnya dijadikan ganbaran penting dalam perbaikan kepemimpinan dan keorganisasian Negara Indonesia, jangan sampai kebobrokan Indonesia berlanjut kedepan hanya dikarenakan sisitem Negara yang tidak baik sehinnga martabat bangsa Indonesia semakin tercoreng baik dari dalam masyarakat pemerintahan itu sendiri maupun pandangan dunia internasional.


METODE PENULISAN JURNAL

                       
   Penelitian junal ini menggunakan metode dedukatif yaitu dengan berdasarkan kerangka teori, kemudian ditarik suatu hipotesa yang akan dibuktikan melalui data-data empiris yang ada. Penulis ini lebih bersifat library research atau studi kepustakaan dengan menggunakan data sekunder seperti surat kabar, majalah, tabloid, dan menggunakan situs-situs internet sebagai sumber data juga dilakukan terutama situs-situs resmi yang berhubungan dengan permasalahan kepemimpinan yang berakibat terjadinya permasalahan antara Indonesia dan Malaysia dalam hubungan diplomati yang mencakup kedaulatan suatu Negara. Dan dalam metode penulisan jurnal ini banyak menggunakan informasi berita dalam surat kabar.


SISTEMATIKA PENULISAN JURNAL
Sistematika penulisan jurnal diatas adalah sebagai berikut :

Pendahuluan.

            Dalam penulisan jurnal diatas dibuka dengan pendahuluan dimana penulisan pendahuluan membahas gambaran kecil dari arti sebuah kepemimpinan, dan juga membahas bagaimana kepemimipinan tersebut berhungan langsung dengan sebuah martabat keorganisasian yang semakin menurun dalam perkembangan pembentukan atau dalam mencetak pemimpin bangsa. Selain itu dalam pendahuluan menceritakan bagaimana imbas dari kegagalan mencetak pemimpin hingga martabat bangsa dilecehkan Negara tentangga dengan pengklaiman besar-besaran budaya bangsa Indonesia. Hal tersebut sebagai pengikisan budaya bangsa, pengikisan sumber daya budaya tersebut dinilai sadis, mulai dari lagu ”Rasa Sayange” yang dipakai jingle kampanye Truly Asia mereka sampai belakangan tari pendet, dan masih banyak lagi. Prinsipnya tak jauh beda dari proses pengikisan SDM sebuah organisasi. Pendeknya, semakin terkikis sumber-sumber daya sebagai pilar organisasi, semakin tergerus eksistensinya

Isi

   Dalam penulisan isi penulis memperkuat apa yang disampaikan dalam pendahuluan dengan membahas martabat, dalam konteks ini adalah martabat organisasi yang semakin terkikis, dalam konteks martabat tersebut penulis coba menerangkan apa itu suatu martabat. Penulis juga mengingatkan bahwa eksistensi dan martabat organisasi bisa digembosi oleh pihak luar. Namun ingat, hal itu bisa dengan mudah dilakukan karena kita sendiri sebagai ”orang dalam” organisasi, sadar atau tidak, juga lebih dulu melakukan berbagai penggembosan yang sama. Atau, setidaknya, sesuai dengan konsep perilaku organisasi modern, kita tak melakukan pemberdayaan organisasi (organization empowerment) yang selayaknya. Proses untuk melenyapkan martabat organisasi ini adalah dengan lebih dulu mengikis eksistensi organisasi tersebut. Sedangkan cara mengikis eksistensi adalah dengan menghancurkan dan mengeksploitasi sumber-sumber dayanya (resources).


Penulis juga menceritakan adanya dua pilar organisasi yang dikikis, yaitu sumber daya manusia (human resources) dan budaya (cultural resources). Segudang dosa Malaysia lewat eksploitasi dan penyiksaan terhadap para TKI kita menjadi bukti nyata bahwa SDM kita diperlakukan lebih buruk daripada mesin produksi. Bahkan mesin produksi pun masih dipelihara. Analoginya, kita ini ibarat perusahaan outsourcing yang mengirim karyawan kita kepada perusahaan pelanggan. Dan, di sana karyawan kita dieksploitasi seenaknya, tetapi kita tak berdaya apa pun.


Selain itu penulis juga menyinggung tugas komunikasi menyangkut transformasi pola dan gaya diplomatic yang serta merta berhubungan, khususnya dengan pihak luar. Singkatnya, pola komunikasi pemimpin mesti bergerak dari prinsip populis menuju asertif. Populis itu orientasinya ingin merangkul dan menyenangkan sebanyak mungkin pihak karena itu cenderung terlalu santun, hati-hati, kadang hipokrit, dan substansi pesan sering tak sampai. Sedangkan asertif cenderung lugas, tegas, penetratif, dan substansi pesan sampai secara jitu.

Populis cenderung tidak jitu karena mengedepankan ”kemasan” (sensasi). Populis mungkin cocok untuk memenangi pemilu, tetapi tak cocok untuk kasus Malaysia ini. Asertif lebih jitu karena mengutamakan ”isi” (substansi). Itu sebabnya Malaysia santai saja selama ini karena pola komunikasi pemimpin kita sangat populis dan mereka cuma merasa dielus-elus kepalanya.

                 
                 Kesimpulan

   Dalam paragraph kesimpulan ini penulis mengingatkan bahwa menghadapi masalah eksistensi dan martabat bangsa seperti dalam konteks diatas memang tugas mahabesar segenap komponen bangsa. Namun, tanggung jawab terbesar tetap ada pada para pemimpin. Sebab, tugas utama pemimpin adalah menegakkan dan mengembangkan eksistensi serta martabat organisasi dan segenap anggotanya. Kalau tidak, buat apa ada pemimpin.



Daftar Pustaka Analisa Jurnal


Artikel Kompas Sabtu, 5 September 2009

Yudhistira ANM Massardi, Kompas, 29/8

”Membangun Manusia Paripurna”, Kompas, 25/6

Bahan ajar kuliah Demokrasi, oleh Bambang Sunaryono, UMY

Bahan ajar Teory Hubungan Internasional oleh ibu nurazizah, UMY


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konflik Ambon 1999

The Ambon conflict of 1999

Sejarah Jurnalistik