KONFLIK SUDAN
Pada Abad ini genosida
yang terjadi di Rwanda menggemparkan dunia internasional, aksi kekerasan di
Rwanda[1]
yang menewaskan sekitar 800.000 jiwa yang terjadi pada tahun 1994, hingga
kalangan internasional menyatakan bahwa kasus Rwanda adalah kasus pembantaian
terbesar abad ini, dan tidak kalah mencengangkan kasus yang terjadi di Darfur
tahun 2003-2006, PBB melansir kasus Darfur menewaskan 300.000 jiwa dan
mendorong 2juta jiwa mengungsi pemerintah Khartoum
sendiri menyebut jumlah kematian hanya 10.000.[2]
Aksi kekerasan mengguncang Darfur sejak awal
tahun 2003, bermula ketika dua kelompok pemberontak yang didominasi oleh
penduduk asli etnis Afrika mengangkat senjata pada tahun itu kepada pemerintah
pusat. Pemberontakan di wilayah Darfur disebabkan antara lain oleh persoalan etnis Afrika atas
kurangnya perhatian pemerintah pusat kepada mereka.
Para pemberontak yang kemudian terbagi menjadi
dua kelompok, yaitu Sudan Liberation Army (SLA) dan Justice and Equality
Army (JEM), kedua kelompok tersebut meyatakan bahwa pemerintah
Sudan telah melakukan diskriminasi terhadap warga kulit hitam keturunan Afrika demi
keuntungan keturunan Arab.
Melihat sejarahnya ketegangan di Darfur memang telah berlangsung lama khususnya antara warga
Arab nomaden dan para petani dari etnis Fur, Massalet serta Zagawa etnis
asli Sudan.
Konflik ini juga muncul kaum milisi Arab yang dinamakan Janjaweed dianggap
sebagai pro-pemerintah Sudan, hal ini di karenakan milisi Janjaweed
mengejar habis warga kulit hitam Sudan keturunan Afrika dan
mendesak kelompok tersebut hingga ke ujung wilayah Darfur.
Terjadi penyerangan oleh anggota milisi Janjaweed
dan penyerbuan ke kampung-kampung. Pasukan milisi melakukan pembunuhan,
pemerkosaan, pembakaran tempat tinggal juga perampokan, kondisi tersebut
mengakibatkan ribuan orang di Darfur mengungsi mencari tempat yang lebih aman.
Pada 19 Maret 2004 “United
Nations Resident Representative” di Sudan melalui Mukesha Kapila berbicara
pada wartawan di Nairobi, Mukesha mengeluarkan pernyataan keras, mukesha
menggambarkan situasi di Darfur sebagai suatu “Pembersihan Etnik”.
Pada 31 Maret 2004, Prancis dengan bantuan Inggris berhasil
mendorong dibahasnya resolusi DK PBB no. 1593, dimana dalam resolusi tersebut
berisi tentang pengalihan kasus Darfur ke mahkamah pengadilan Internasional
atau ICC. Namun, Amerika Serikat menolak
dengan asumsi menyerahkan permasalahan di Darfur dengan pengadilan khusus,
seperti pada kasus Rwanda.
Pada 2 April tahun 2004, Koordinator “Under-Secretary-General for Humanitarian Affairs and Emergency Relief”,
Jan Egeland memberi laporan singkat kepada Dewan Keamanan PBB mengenai situasi
kemanusiaan di Darfur yang digambarkan sebagai suatu “pembersihan etnik”, atas
laporan tersebut Presiden Dewan Keamanan menyatakan yang terjadi di Darfur
sebagai “Krisis Kemanusiaan” .
Perhatian PBB atas permasalahn di Darfur menguat kembali 7
April 2004, pada saat peringatan 10 tahun genocide
di Rwanda, dimana Sekjen PBB Kofi Annan menyatakan bahwa masyarakat internasional
perlu mengambil tindakan jika akses penuh tidak diberikan kepada petugas hak
asasi manusia dan kemanusiaan. Pada awal Juli tahun 2004 mantan Menlu AS Colin
Powell setelah berkunjung ke Darfur, menyatakan pada senat AS bahwa di Darfur
sedang terjadi genosida, ia menyalahkan pemerintah Sudan dan milisi
Janjaweed walaupun hal tersebut dibantah oleh Menlu Sudan Najib Abdul Wahab.
Pada bulan Oktober 2004, Sekjen PBB mengirim permintaan
kepada ICC untuk membentuk tim dalam penyelidikan permasalahan yang terjadi di
Darfur, kemudian tim dibentuk dengan ketua tim Antonio Cassese, tim tersebut
memulai kerja pada 25 Oktober 2004.[3]
Dalam jangka waktu tiga bulan yang ditentukan tim menyatakan 51 orang bersalah telah melakukan kejahatan perang di Darfur, namun penyelidikan itu tidak menyimpulkan adanya genosida,
tidak ada bukti-bukti bahwa memang ada minat untuk memusnahkan kelompok
tertentu, apakah itu kelompok bangsa atau agama.[4]
Permasalahan Darfur yang semakin memburuk menjadi perhatian
DK PBB, dan pada April 2005 DK PBB mengesahkan resolusi 1593 dengan menyerahkan
kasus Darfur ke International Criminal Court (ICC) di Den Haag yang diinvestigasi
jaksa penuntut Mahkamah Luis Moreno Ocampo sebagai jaksa kepala mahkamah
international yang dimulai penyelidikkannya 7 Juni tahun 2005.[5]
Pernyataan genocide didengungkan AS dalam pernyataan pers
pada BBC News Menlu Amerika Sertikat Condoleeza Rise pada tanggal 21 Juli 2005
setelah berkunjung ke Sudan. Rise membenarkan telah
terjadi tindakan genosida
dan meminta pemerintah Sudan melakukan tindakan keras untuk menghentikan
pertikaian yang terjadi di Darfur[6].
Dalam peristiwa tersebut pasukan Janjaweed dituduh melakukan
aksi genosida dimana kemudian tuduhan tersebut juga ditunjukan pula
kepada pemerintah Sudan. Menghadapi aksi pemberontakan di Darfur, pemerintah
Sudan dianggap memobilisasi milisi untuk membela kepentingan pemerintah,
meskipun pemerintah Sudan selalu menolak keterkaitan dengan milisi Janjaweed.
Pertikaian di
Darfur memang sudah lama terjadi, hal tersebut diakui oleh pemerintah Khourtum, namun pemerintah sendiri menganggap bahwa tidak ada tindakan genosida
yang terjadi di Darfur.
ICC yang mendapat laporan dari
Dewan Keamanan PBB melakukan penyelidikan atas kasus HAM yang terjadi di Darfur, apalagi kasus HAM di Darfur diisukan kasus HAM
berat yang dikategorikan sebagai genocide
. ICC melakukan penyelidikan kasus HAM Darfur dimana berpijak dengan resolusi 1593 dan mengadopsi pasal
IV Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide yang menyatakan orang yang melakukan genocide atau salah satu tindakan yang
disebutkan dalam pasal III harus
dihukum.[7]
Dalam penyelidikan kasus HAM
Darfur ICC terhambat oleh yuridiksi terhadap Sudan, dimana yuridiksi ICC maupun
anggota-anggota yang meratifikasi ICC belum mampu menjangkau permasalahan Darfur,
dikarenakan pemerintah Sudan belum menjadi anggota ICC dengan meratifikasi
Statuta Roma, maupun bekerjasama dan menyetujui penyelidikan ICC atas tuduhan
tindakan genocide di Darfur.
Permasalahan di Darfur juga dikategorikan permasalahan
yang rumit dimana dalam penyelesaiannya terhambat oleh kepentingan aktor-aktor
yang berkaitan dengan negara Sudan, baik negara lain maupun kepentingan
regional yang menyangkut Uni Afrika.
[1] Di kutip dari Warta Berita
edisi bahasa Indonesia-radio Nederland wereldomroep yang di terbitkan 03
Agustus 2004 15:50 UTC
[2]
Judul
Berita “Kota Darfur di bom” lihat web http://www.antaranews.com/berita/340980/ibu-kota-darfur-sudan-dibom di akses tanggal 04 November 2012
[4] Di kutip dari Warta Berita
edisi bahasa Indonesia-radio Nederland wereldomroep yang di terbitkan selasa 07
juni 2005 14:50 UTC lihat web: http://www.mail-archive.com/berita@listserv.rnw.nl/msg00664.html diakses 01 Oktober 2012
[5] Judul berita “ICC selidiki laporan kejahatan di Darfur” lihat web http://www.merdeka.com/hukum/kriminal/icc-selidiki-laporan-kejahatan-perang-di-darfur-hp7cexw.html di akses 04 November 2012
[6] Judul berita “Menteri Amerika serukan aksi untuk Darfur” lihat web http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2005/07/050721_ricerb.shtml
di akses 20 November 2012
[7] Judul “Genocide Convention” lihat web http://iccforum.com/genocide-convention#Article6 di
akses 15 April 2013
Komentar
Posting Komentar